JAKARTA LIPUTANERITA7.COM. Warga Israel semakin lelah dengan konflik berkepanjangan di Gaza yang telah berlangsung selama 21 bulan. Israel mencatat jumlah korban tentara yang tewas tertinggi dalam beberapa dekade, dengan sekitar 450 personel militer gugur di Gaza sejauh ini. Situasi ini turut memanaskan perdebatan mengenai RUU wajib militer baru yang menjadi akar krisis politik terkini.
Namun demikian, dua menteri penting dalam kabinet Netanyahu, yakni Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, secara terbuka menentang gencatan senjata dan mendesak agar perang dilanjutkan. Meski begitu, Netanyahu dinilai masih memiliki cukup suara di kabinet untuk meloloskan kesepakatan tanpa dukungan mereka.
“Begitu kesepakatan yang tepat diajukan, perdana menteri akan dapat meloloskannya,” ujar Topaz Luk, ajudan dekat Netanyahu, kepada Radio Angkatan Darat, Selasa (15/7/2025).
Netanyahu juga berada dalam tekanan internal dari partai-partai sayap kanan dalam koalisinya terkait perundingan gencatan senjata yang sedang berlangsung di Qatar. Negosiasi tidak langsung antara Israel dan Hamas bertujuan menghentikan pertempuran selama 60 hari. Kesepakatan ini diharapkan memungkinkan pembebasan sekitar separuh sandera yang masih ditahan dan memperlancar bantuan kemanusiaan ke wilayah Gaza yang hancur.
Gencatan senjata tersebut juga akan membuka jalan menuju tahap negosiasi selanjutnya untuk mengakhiri perang secara permanen.
Mahasiswa ultra-Ortodoks selama ini dikecualikan dari wajib militer, sebuah kebijakan yang semakin dipertanyakan publik. Banyak warga Israel menganggap pengecualian tersebut sebagai beban yang tidak adil bagi kelompok masyarakat lain yang diwajibkan bertugas.
Di sisi lain, para pemimpin Yahudi ultra-Ortodoks menilai studi kitab suci merupakan pengabdian sakral, dan khawatir bahwa wajib militer akan menjauhkan generasi muda mereka dari kehidupan religius.
Tahun lalu, Mahkamah Agung Israel memutuskan bahwa pengecualian wajib militer harus dicabut. Sejak itu, parlemen berusaha merumuskan undang-undang baru, namun hingga kini belum mampu memenuhi tuntutan partai UTJ.
Sebuah partai keagamaan telah menarik diri dari koalisi Pemerintahan Israel karena perselisihan terkait wajib militer. Mereka meninggalkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dengan mayoritas parlemen untuk mengamankan kemungkinan gencatan senjata di Gaza.
Enam anggota partai United Torah Judaism (UTJ) menyerahkan surat pengunduran diri dari jabatan mereka di komite parlemen dan kementerian sebagai bentuk protes atas kegagalan parlemen menjamin pengecualian wajib militer bagi mahasiswa seminari ultra-Ortodoks di masa mendatang.
Partai ultra-Ortodoks lainnya, Shas, yang merupakan sekutu erat UTJ, disebut-sebut tengah mempertimbangkan langkah serupa. Jika itu terjadi, pemerintah Netanyahu dapat kehilangan mayoritas di Knesset.