Jakarta, Liputan Berita7. Ketegangan pernah terjadi di Laut China Selatan pada akhir Mei 2025, setelah sebuah kapal induk raksasa Amerika Serikat, USS Nimitz (CVN-68), membelah perairan Laut China Selatan.
Dari dek kapal, jet tempur F/A-18 Super Hornet melesat satu per satu. Seolah-olah, mereka mengirimkan pesan kepada dunia. “Amerika kembali ke laut yang disengketakan, dan kali ini—dengan lebih banyak kekuatan”.
China pun langsung menjawab manuver militer AS tersebut. Pembom strategis H-6 yang mampu membawa hulu ledak nuklir diterbangkan dan ditempatkan di Pulau Woody, wilayah yang mereka klaim dalam Nine-Dash Line. Bayangan perang pun menebal.
Kedutaan Besar China di Filipina mendesak Uni Eropa untuk berhenti mencari masalah terkait Laut China Selatan. Pihak China pun menyarankan Manila untuk tidak melibatkan negara luar untuk menyelesaikan sengketa di jalur perairan tersebut.
“Kami mendesak Uni Eropa untuk benar-benar menghormati kedaulatan teritorial China dan hak serta kepentingan maritim di Laut China Selatan dan untuk berhenti memprovokasi masalah,” kata juru bicara tersebut seperti dilansir dari Reuters, Kamis (5/6/2025).
Seorang juru bicara kedutaan China ini menyampaikan komentar tersebut setelah kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, mengunjungi ibu kota Filipina dan menyuarakan keprihatinan atas aktivitas China di jalur perairan itu. Memang, jalur tersebut tumpang tindih antarbeberapa negara Asia Tenggara.
Juru bicara tersebut menyebut blok barat tidak memiliki hak untuk ikut campur atas masalah ini. Oleh karena itu, dia menyebut Manila harus kembali berdialog dan konsultasi untuk mengelola perbedaan dengan China, alih-alih mengandalkan kekuatan eksternal untuk menyelesaikan sengketa Laut China Selatan. Sayangnya, kedutaan Besar Filipina di Beijing memilih untuk tidak menanggapi permintaan komentar melalui email.
Uni Eropa dan Filipina kerap menyatakan kekhawatiran mereka terkait tindakan ilegal, koersif, agresif yang dilakukan China terhadap kapal dan pesawat Filipina yang melakukan operasi maritim yang sah di Laut China Selatan. China sendiri mengklaim kedaulatan atas hampir seluruh Laut China Selatan, termasuk bagian dari zona ekonomi eksklusif Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.