JAKARTA, LIPUTANBERITA7.COM. Pemerintah China menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5% untuk tahun ini, sejalan dengan target tahun sebelumnya. Namun, apabila China dan AS gagal mencapai kesepakatan dagang sebelum tenggat waktu 12 Agustus, kembalinya tarif AS hingga 245% berisiko menghambat pemulihan ekspor, yang merupakan penopang utama pertumbuhan dan lapangan kerja.
Sementara itu, Louise Loo dari Oxford Economics mengatakan bahwa strategi pemotongan harga oleh produsen China untuk bersaing di pasar internasional justru menambah tekanan deflasi yang dapat menggerus daya saing mereka sendiri.
Penurunan harga properti dan melambatnya penjualan ritel juga menjadi perhatian. Lynne Song dari ING Economics menyebut kedua hal ini sebagai faktor risiko tambahan bagi ekonomi China.
Ekonomi China tumbuh 5,2% pada kuartal II 2025, meskipun menghadapi tekanan dari perang dagang yang semakin memanas dengan Amerika Serikat (AS). Angka ini sedikit melambat dibanding pertumbuhan 5,4% pada kuartal I 2025.
Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi China pada semester pertama tahun ini mencapai 5,3%.
“Prospek ekonomi untuk sisa tahun ini tetap penuh tantangan,” tulis Zichun Huang dari Capital Economics, dikutip dari AP, Selasa (15/7/2025).
Pelonggaran sementara tarif tinggi atas ekspor China ke Amerika Serikat telah mendorong lonjakan pesanan dari perusahaan dan konsumen, di tengah dimulainya kembali perundingan dagang antara kedua negara. Perusahaan-perusahaan China juga memperluas ekspor dan produksi ke negara lain seperti Vietnam, untuk mengurangi dampak dari tarif tinggi yang diberlakukan pemerintahan Trump.
“Secara umum, dengan penerapan kebijakan makro yang lebih proaktif dan efektif, ekonomi nasional mempertahankan pertumbuhan yang stabil dengan momentum yang baik, menunjukkan ketahanan dan vitalitas yang kuat,” demikian pernyataan Biro Statistik Nasional China.
Namun, penurunan harga konsumen sebesar 0,1% pada semester I 2025 menunjukkan lemahnya permintaan domestik. Ini menjadi tantangan jangka panjang bagi Partai Komunis yang berkuasa, seiring dengan menurunnya populasi dan meningkatnya usia rata-rata penduduk. Kondisi ini memburuk sejak masa pandemi Covid-19.