JAKARTA – LIPUTANBERITA7.COM. Meskipun secara teknis mungkin untuk dilakukan, namun dari sudut pandang ekonomi, penggunaan teknologi baterai seperti Li-Ion masih menjadi tantangan. Namun begitu, dengan kemajuan teknologi yang pesat, pada 2035 mendatang baterai solid state dapat menjadi pilihan baterai dengan masa pengisian dan masa pakai yang lebih baik.
Pesawat bertenaga listrik konon bisa memiliki waktu pengisian yang lebih cepat dan umur baterai yang lebih panjang. Adapun hasil akhir dari konsep pesawat listrik komersial yang diharapkan sepenuhnya tanpa emisi ketika digunakan.
Dilansir dari tekno.tempo.co Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama Purdue University berkolaborasi dalam program Global Multidisciplinary Design Course yang diinisiasi oleh Arizona State University. Tim mahasiswa dari kedua kampus itu merancang pesawat udara komersial bertenaga listrik yang mampu mengangkut hingga 40 penumpang dengan rute penerbangan Jakarta-Singapura.
Mahasiswa ITB yang terlibat dalam program itu adalah Anthony Sinisuka, Aqil Vadhila, Darian Soetanto, Dwiki Ananda, Elisabeth Filandow, dan Linquinn Aiko yang semuanya berasal dari Program Studi Aerospace Engineering di Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB. Mereka bekerja sama dengan tiga mahasiswa dari Purdue University. Dosen pembimbingnya Taufiq Mulyanto dari ITB, Thiago Guimaraes dari Purdue University, dan John Rutherford dari Arizona State University.
Fokus utama di program inisiatif dari USAID Higher Education Partnership Initiative (HEPI) itu adalah desain pesawat udara. Tim mahasiswa sejak Februari hingga Juni 2024 berkolaborasi secara virtual untuk menyelesaikan proyek rancangan. Menurut seorang anggota tim, Darian Soetanto, program merancang pesawat bertenaga listrik itu sangat menarik. “Karena pesawat listrik masih jarang juga, pasti cara desainnya tentu beda dari awal,” katanya di laman ITB, Kamis 27 Juni 2024.
Tantangan rancangan bertambah karena referensi yang terkait pesawat bertenaga listrik masih sangat terbatas. Karena itu ada aspek yang membuat mahasiswa harus belajar sendiri dari nol. “Kita harus bisa mempertimbangkan baterainya, mesinnya, dan lain-lain, itu yang berbeda dari pesawat biasanya,” ujar Darian. (red)